Diposkan
oleh Tin's P di 06:05
Gambaran
Kegagalan Pembangunan di Papua
Secara etno biologis Penduduk Papua
merupakan suku bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda
dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Berada di ujung Timur Indonesia, hidup
di tengah keterasingan dan jauh dari kontak dengan kemajuan atau modernisasi.
Kenyataan menujukkan bahwa situasi dan kondisi yang kurang kondusif membuat
masyarakat berada dalam tarap hidup yang cukup memprihatinkan, seolah-olah
mereka pemilik keterisolasian dan kemiskinan. Pada saat ini juga sebagian besar
orang Papua yang masih berbusana sederhana sebagai simbol keterbelakangan
mereka, maka oleh mereka yang merasa diri maju disebut penduduk primitif, jaman
batu, kaum peramu, penduduk terasing dan masih banyak lagi stigma yang
diberikan. Ada ciri-ciri khusus yang menandai kegagalan pembangunan di papua
diantaranya adalah:
1. Papua merupakan salah satu daerah yang terpencil, memiliki
laut dan Pantai, memiliki topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah
yang puncak pegunungannya selalu ditutupi salju abadi. Diselimuti
hutan dan hujan tropik basah dan hujan berekologi alpenik.
2. Jumlah penduduknya kurang banyak yakni 1 % dari penduduk
Indonesia. Di tahun 1969 jumlah penduduk Papua sebanyak 800.000 dan di tahun
2007 jumlah penduduk asli Papua sebanyak 1,6 juta jiwa. Artinya kurang lebih 40
tahun mengalami petumbuhan penduduk minimal (minimizing zero growth). Mereka
bermukim terpencar dan terpencil di lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta
celah-celah gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan
pemerintah.
3. Kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni
kondisi perumahan sangat darurat hidup dalam honai/ owa, pola konsumsi mereka
sangat tidak teratur, sebagian besar dari mereka nyaris tanpa busana (koteka) dan
pola perekonomian subsisten.
4. Kondisi sosial masyarakat pada umumnya masih sederhana,
tingkat pendidikan relatif rendah, tinggat kesehatan dan gizi rawan, tingkat
penguasaan teknologi rendah.
5.
Pengembangan perekonomian rakyat di
daerah ini umumnya belum maksimal, karena kurangnya wawasan berfikir rakyat
maupun juga penyadaran pada masyarakat, termasuk juga karena kurangnya
insfrastruktur perhubungan darat dan udara disamping letaknya sangat jauh di
daerah pedalaman, terisolir dan terpencil. Seluruh jaringan transportasi
dilakukan melalui udara. Tersendatnya pembangunan jalan trans Papua belum
memberi dampak yang positif, terutama mobilisasi penduduk baik urbanisasi
maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan jasa.
Masalah Utama Kegagalan Pembangunan
di Papua
Jika kita melihat kembali akar
permasalahan di Papua maka secara substansial adalah masalah kemerdekaan, baik
persoalan kemerdekaan secara politis maupun juga merdeka dari 5 K (Kemiskinan,
Kebodohan, Keterbelakangan, Ketelanjangan dan Kemerosotan moral). Kedua
persoalan ini menjadi penyebab utama kegagalan pembangunan di Papua selama hampir
40 tahun sejak berintegrasi.
Pertama, Persoalan kemerdekaan
politik (trauma historisme), Konflik politik di Papua ini tidak begitu jatuh
dari langit, ada akar historisnya dan akar historis tersebut tidak jarang
bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari
sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis
Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih
belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik
melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap
kooporatif antar penguasa -demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme
internasional- yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Tidak pernah
melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan
rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan
keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak menetukan nasib sendiri
bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960, dimana pada waktu
yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan
sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu konsensus politik 1969 yang
disebut PEPERA , dilaksanakan dibawah tekanan Indonesia, termasuk pelaksanaan
dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yakni musyawarah
mufakat yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New
York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat
adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup primitif,
hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember
1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan
segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya
kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya
kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu,
muncullah ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka
(OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi
politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni korporatisme
negara , rakyat disekrin, dipaksa tandatangani, diinstruksi, tidak boleh ini
harus begitu dan seterusnya dan seterusnya, praktik teror oleh klik-klik
misterius agar menerima, menghormati, taat dan tunduk pada simbol-simbol
negara-kebangsaan (nation-state). Rakyat diliputi rasa ketakutan totaliter.
Karena itulah sepanjangh berintegrasi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui
berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya
ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang
merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa Indonesia, orang sawo
matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan
kebencian dari trauma historisme daan sejarah penderitaan bangsa Papua (the
history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia.
Kedua, Persoalan Kemerdekaan Sosial
Ekonomi (Disparitas Ekonomi dan Sosial. Tidak dapat disangkal bahwa rakyat
Papua kaya akan sumber daya alam yang tiada tara nilainya, namun sesungguhnya
mereka adalah yang termiskin di abad ini. Indonesia sudah mulai menentukan
tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya namun orang Papua (gunung) sedang
berada dalam ketelanjangan dan keterisolasian (The stone age period society in
21t century) masyarakat jaman batu di abad ke dua puluh satu. Itu salah siapa?
Mengapa mereka diintegrasikan kalau Jakarta tidak ingin membangun mereka? Dunia
telah mengetahui bahwa manusia jaman batu itu ada di bumi Papua dan Papua
adalah INDONESIA. Sejak awal integrasi, pemerintah Jakarta memfokuskan
perhatian pada pembangunan ekonomi dan sosial. pembangunan sosial ekonomi
dilaksanakan secara politis. Sejak tahun 1963-1969 dimasa transisi ada nuansa
pembangunan seperti pendirian sekolah-sekolah, dari TK hingga perguruan Tinggi
(Universitas Cendrawasih), pembangunan sarana pra sarana infrastuktur,
pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di
pos-pos pemerintahan. Bahkan Gubernurnya diberikan kepada putra asli Papua yang
tidak pernah orang Papua merasakan pada jaman Belanda. Namun seluruh kebijakan
sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya yakni
Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan
keputusan akhir, pembangunan dengan program Task forces dengan bantuan dana
Fundwi dan ADB namun dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan
keamanan, sehingga dana pembangunan sosial ekonomi sesungguhnya diabaikan.
Karena itu tidak mengherankan sampai pada tahun 1996 77% desa di Irian Jaya
berada dibawah garis kemiskinan dan menjadi desa binaan program IDT dan pada
tahun 2005 hampir 85 persen penduduk Papua miskin. Sebagian besar orang Papua
adalah bertani dan sayangnya sebagian tanah pertanian telah dikaplingkan oleh
para penguasa misalnya pertanian seluas 8,65%, pemukiman penduduk 3,36%, sarana
sosial budaya sebesar 1,75 %, Transmigrasi seluas 0,55% sedangkan penggunaan
tanah untuk keperluan lainnya kurang dari 1%. Dengan demikian sebagian besar
tanah di Papua dimiliki oleh negara seluas 1.528.277 ha 993,36%) sehingga
rakyat mengalami kesulitan mencari tempat tinggal yang baik dengan pemukiman
yang basah karena itu dikawatirkan masa depan anak cucu yang akan merana diatas
tanahnya sendiri. Disamping itu pembukaan industrialisasi dengan mengandalkan
pada penggunaan teknologi canggih yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat
lokal, pengiriman tenaga trampil dari luar dengan mengesampingkan tenaga kerja
lokal dibarengi pemberian kompensasi yang lebih kecil dari seharusnya menjadi
pemicu kesenjangan teritama PT. Freeport Indonesia. Implikasinya adalah
pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi dengan pertimbangan orang
Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan
jumlah populasi antara lain; tingkat harapan hidup diperpendek, tinggkat
pertumbuhan diperlambat, angka kematian bertambah, epidemi penyakit meraja
lela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, termasuk sistem sosial
budayanya maka adagiun menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang
berlalu.
Sikap Penduduk Lokal Terhadapa
Tawaran Pembangunan
Salah satu konsekuensi logis
kepemimpinan yang akomodatif menyebabkan kurang adanya perhatian terhadap
masyarakat lokal pada beberapa waktu dan saat ini lalu pemerintah dinilai gagal
dan kurang menjawab tantangan dan subtansi masalah. Ada beberpa hal yang
sifatnya kontradiktif di Papua saat ini adalah:
1. Pembangunan fisik dengan pendekatan proyek mungkin hanya
sesuai dengan pandangan pemerintah tetapi tidak sesuai dengan keinginan
masyarakat.
2. Rakyat dianggap hanya penting untuk mendukung tujuan
pembangunan sesuai keinginan pemimpin dan serta rakyat dianggap telah menerima
pembangunan yang telah dibangun.
3. Adanya gejala bahwa masyarakat tidak diharapkan untuk
pembangunan karena pembangunan telah difikir oleh pemimpin itu sendiri.
4. Adanya pemaksaan kehendak pembangunan kepada rakyat agar
diterima dan dilaksaanakan dengan dalil ditumbuhkan dan ditingkatkan taraf
hidup masyarakat tanpa menciptakan keadaan untuk tumbuh dan berkembang sendiri.
5. Ada kecendrungan penduduk lokal yang tenggelam diantara
harapan yang tulus tanpa realita. Karena tidak terbiasa bertindak otonom
terhadap situasi yang mereka alami.
6. Akibat pendekatan pembangunan yang keliru maka kemampuan
adapatasi mereka pasif dan tanpa kritis, sikap legowo lebih dominan dari pada
sikap kritisisme dalam menghadapi modernisasi.
Persepsi Yang Keliruh Terhadap
Sumber Daya Manusia Papua
Pembinaan sumber daya manusia
terutama Papua bukanlah persoalan memberi pendidikan, meningkatkan ketrampilan
serta membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan sekedar
tahu membaca dan menulis serta bebas dari penyakit dan kelaparan dan penciptaan
suasana lingkungan hidup yang kondusif baik dalam pengertian sosial, ekonomi
dan politik. Tetapi yang mereka harapkan adalah: Pertama, Mandiri, menjunjung
tinggi martabat dan harga diri, maupun menolong dirinya sendiri dan melihat
jauh ke depan, dan menjadikan mereka menjadi pelaku pembangunan; Kedua,
Kenyataan menujukkan bahwa stigmatisasi penduduk lokal oleh mereka yang
dianggap telah maju, menyebutnya orang koteka, orang hitam, orang asli, orang
primitif. Kesalahan pemahaman ini dapat mengiring pikiran kita ke arah yang
keliruh dalam memahami masyarakat tersebut. Oleh karena itu walaupun alam
pikiran masyarakat primitif ini memang lain dengan alam pikiran masyarakat
modern. Namun akhirnya dalam setiap manusia dan semua pola sosial baik modern
atau primitif akan kita temukan garis-garis yang sama dan susunan-susunan yang
sama pula dalam perjalanan hidup di atas tanah tumpah darah bagi manusia di
bumi. By (Tinus Pigai) sumber: Decky BIK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar